Surakarta, 23 Februari 2025.
Disclaimer(!!!):Dimohon kebijakannya untuk membaca dengan seksama,jangan ditelan mentah-mentah karena kita manusia yang berakal jadi silahkan gunakan interpretasi anda sendiri semaksimal mungkin.Selanjutnya saya mohon maaf terlebih dahulu apabila kata-kata yang saya gunakan kurang tepat serta tanpa didasarkan untuk menyinggung pihak-pihak tertentu.
Dahulu seorang samurai sekaligus ronin atau biasanya secara umum kita ketahui sebagai ahli pedang bernama Miyamoto Musashi pernah memiliki pandangan unik dan mendalam terkait 'Katana' yang selalu ia pegang sebagai senjata yang ia miliki di akhir periode sengoku, menurutnya pedang bukan hanya sebuah bilah tajam yang melukai lawannya secara fisik namun juga simbol dari jalan hidup, kedisiplinan serta strategi untuk menuju sebuah kebijaksanaan.Ini tentunya menandakan bahwa disisi ia sebagai petarung yang dikenal kejam bagi lawan-lawannya namun disisi lain ia juga seorang pemikir yang sedikit banyak memberikan sumbangsih pemikiran filosofisnya kepada masyarakat di era jepang pada saat itu.
Dari kasus tersebut seharusya memberikan gambaran sedikit lebih jelas mengenai realitas yang harus dijalani manusia berdasarkan apa yang menjadi keinginannya, dalam filosofi Musashi seseorang mestinya menempuh hidup berdasarkan apa yang menjadi idealismenya namun tetap berpegang pada realitas yang terjadi disekitarnya, idealis ini adalah pemaknaan dari sebuah jalan hidup yang ingin dicapai seseorang namun dilain sisi perlu adanya kedisiplinan, sebuah pemahaman yang mendalam serta kebijaksanaan yang dituangkan dalam bentuk pengendalian diri.Lebih sederhananya "boleh saja kita mencapai suatu tujuan namun yang sudah pasti tidak terelakan adalah sebuah usaha penuh kedisiplinan dan ketika tiba waktunya tujuan itu terasa didepan mata sesungguhnya ia tidak sepenuhnya berhenti akan tetapi terus mengalir menjadi pemahaman yang dapat mengendalikan dirinya sendiri dari sebuah egoisme ", dengan kata lain tujuan tadi memerlukan pemahaman yang sempurna agar tidak merugikan diri sendiri atau bahkan lingkungan sekitar.
Anggaplah seorang ahli pedang atau prajurit dengan bintang dibahunya yang kerap konkang senjata maka ia harus mengetahui arti senjata bagi dirinya sendiri dan musuh-musuhnya, mereka harus memahami bahwa dalam setiap tebasan dan butir peluru ada banyak nyawa yang melayang, ada beberapa keluarga yang mengeluarkan isak tangis karena kehilangan, ada sebuah bangsa yang ingin mendapatkan kejayaan,ada negeri yang terjajah penuh kemalangan maka semuanya itu merupakan beban yang harus mereka tanggung serta keyakinan mengenai etika yang harus terus mereka junjung.Akan menjadi memalukan bagi mereka dan sepantasnya semua orang diluar sana ketika tampak luar mereka menjunjung tinggi jalan hidup namun dibelakangnya hanya ada egois dan sengsara semata tanpa ada keinginan untuk memahami dan mengendalikan diri.
Seorang penguasa mesti memikul beban para rakyat-rakyatnya, walaupun pastilah cara dan strategi mereka pasti berbeda namun setidaknya mereka harus paham bahwa ada ribuan bahkan jutaan nyawa ditelapak tangan mereka.Mau tidak mau ini adalah konsekuensi yang harus di emban ketika rakyat menunjuk wakil-wakil dari mereka dengan bayaran sang penguasa mendapatkan sebuah kesejahteraan atas hasil kerja kerasnya selama pengabdian yang dilakukan.Rakyat pun mempunyai mandat untuk berpikir kritis dalam sebuah keadaan, menghormati jalannya kekuasaan yang adil dengan turut serta berpartisipasi aktif menyumbangkan ide-ide atau tenaganya serta selalu mengutamakan persatuan dan kebersamaan karena "nilai rakyat itu ketika bersatu bukan bercerai-berai, suara satu orang akan hilang dibandingkan suara satu bangsa yang akan berguncang".Keduanya harus mengerti dan memhami bahwa tidak ada penguasa tanpa rakyat sebaliknya tidak ada rakyat tanpa penguasa yang adil.
Ini sudah tentu berlaku bagi negara dengan lembaga-lembaga ataupun institusi yang tersusun dibawah kepemimpinan baik lembaga administrasi, sosial, ekonomi, politik, hukum bahkan pertahanan.Semua elemen harus memhami bahwa setiap suara ketikan, jam kerja, kesepakatan dan pertemuan, rapat dan diskusi, suara peluru yang terus berdesing ditelinga atau bahkan tiap tetes keringat dan darah yang bercucuran adalah bentuk pengabdian demi bangsa dan negara bukan hanya untuk ajang egoisme berupa narsistik ataupun diskriminasi.Maka dalam sebuah negara republik yang ideal semua elemen baik penguasa, institusi, rakyat harus saling bahu-membahu dalam membangun dan memajukan bangsa bukan untuk saling intervensi, caci maki dan arogansi yang hasil akhirnya sudah pasti kehancuran tak bersisa.
Bagi suatu negara yang menerapkan sistem 'trias politica' buah hasil John Locke dan Montesquieu dengan tujuan awalnya untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaaan dan penghindaran kekuasaan abslout, maka pahami dan manfaatkan sistem itu dengan baik bukan untuk ajang jual beli jabatan, penyalahgunaan wewenang atau ajang pamer kebodohan.Alangkah lebih baik ketika semua tahu akan kapasitas dan menjalankan kewajibannya dengan terus memaksimalkan segala potensi bukan hanya persoalan ntervensi berdasarkan etika yang diyakini ketika sebuah kitab suci berada diatas ubun-ubun kepala, ataukah mungkin hanya dianggap formalitas semata ?
Mengutip dari buku karya Niccolò Machiavelli seorang politikus italia yakni 'Il Principe' yang ia tulis pada tahun 1513 menjabarkan bagaimana pengetahuan dan pemahaman terkait tata negara dalam menjalankan suatu pemerintahan yang menekankan pada aspek strategi, kebermanfaatan(pragmatis) dan realitas untuk mencapai efektivitas, terlepas dari kontroversial dan kunonya buku ini karena sifatnya yang keditaktoran dengan sistem monarki namun setidaknya seseorang akan memperoleh pemahaman mengenai gaya dan startegi kepemimpinan yang banyak dianut orang-orang berpengaruh didunia,mungkin barangkali ini adalah literatur yang seharusnya pantas dibaca oleh para pemimpin dan pemegang wewenang sebuah negara.
Sebaliknya amanat bagi rakyat adalah terus bersuara mengenai kebenaran, menjujung tinggi sikap kritis tanpa menjelekan, peduli dan empati dengan keadaan yang terjadi disekitar, terus mengembangkan potensi diri demi mencptakan sumber daya yang memadai serta menghindari perselisihan atau bahkan hal hina lainnya seperti kubu-kubuan dengan sebuah harapan terjalin sebuah persatuan akan pandangan untuk merubah negeri ke arah yang lebih baik lagi.
Referensi lainnya;
Miyamoto, M., & Harris, V. (1974). A book of five rings
Machiavelli, N., & Bull, G. (2003). The Prince. Penguin Classics
Locke, J. (1960). Two Treatises of Government. Awnsham Churchill.
Berikut sepenggal bait,
Rudhira
Tajam menusuk menyayat luka
Memikul jeritan dan derita
Membuat jauh dari kata suka
Menyadarkan sukma akan realita
Tetesan darah dan air mata
Raja bergerak memukul tongkatnya
Rakyat bersenandung dengan sedikit duka
Menjadikan nirwana enggan menyapa
Tak jarang mulai meragu
Akankah pilihan yang lalu sudah tentu
Hentikan yang larut dan mendayu
Mungkin ada asa yang harus di tuju
Langit memelas tampak sengsara
Bukit merenung meninggalkan 'virama'
Angkat telapak tangan dan berdoa
Semoga ada kedamaian yang tercipta
"Setiap tebasan memberikan kejayaan, dibalik kejayaan beribu rintihan."
~Dwiki Ariyadi
Komentar
Posting Komentar