Banjarnegara, 23 Maret 2025.
Disclaimer(!!!):Dimohon kebijakannya untuk membaca dengan seksama,jangan ditelan mentah-mentah karena kita manusia yang berakal jadi silahkan gunakan interpretasi anda sendiri semaksimal mungkin.Selanjutnya saya mohon maaf terlebih dahulu apabila kata-kata yang saya gunakan kurang tepat serta tanpa didasarkan untuk menyinggung pihak-pihak tertentu.
Seorang prajurit, manusia yang memiliki jiwa seorang kesatria, ia tidak hanya hidup untuk memenuhi isi perutnya sendiri namun sedikit banyak harus menanggung beban dan harapan bangsa dipundaknya.Pemikiran yang merupakan buah hasil otak serta fisik yang tampak penuh luka nan perjuangan tentunya hanya diberikan kepada kemaslahatan segenap bangsa dan negara melalui serangkaian strategi dan intuisi peperangan bukan hanya untuk sekedar menduduki puncak kepemimipinan saja.Mungkin saja banyak rakyat yang merintih kesakitan dan menangis tersedu di luaran sana, mungkin masih saja ada sistem yang menguntungkan beberapa pihak saja atau mungkin saja masih ada pemerintahan dan kepemimpinan yang hanya menindas harkat dan martabat suatu bangsa.Lalu ketika bangsa sudah seperti kehilangan arah untuk segera pulang, akankah masih ada seorang kesatria keluar dan menebas kegelapan bukan hanya untuk memperkeruh dan memperhitam bara api yang habis terbakar ?
Konsep keadilan pada tubuh seorang pengabdi negara harus tertanam sebuah konsep keadilan, ia bukan buta untuk salah satu sisi koin semata tapi mestinya melihat dengan jelas setiap sisi dan probabilitas yang mengarahkan ia kepada sebuah kebenaran.Tubuh yang ditempa dan ditelan zaman bukan hanya tampak mata semata namun jauh lebih dalam ada setiap mili darah mengalir untuk memberikan suatu penghayatan bagi kejayaan dan arah suatu negara.Tak ada yang senang melihat panutan panutan laskar tanah air hanya pergi untuk makan, minum, tidur atau hanya memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa mengetahui dan enggan tau berapa banyak kepala yang terpenggal dijalan-jalan raya, tangisan ibu tanpa dosa, anak dan bayi mati tanpa tahu dewasanya, pemerintahan korup hanya tau berfoya dan berpesta pora, ataupun rakyat yang anarkis karena tak didengar suaranya.
Kelembagaan yang dibentuk ini perlu dinaungi suatu kaidah untuk menengahi perselisihan yang ada diantara setiap lapisan baik hubungan internal atau eksternal negara bukan hanya untuk beradu kebijakan dengan wakil-wakil yang terhormat atau mengais pundi-pundi dari para cukong-cukong besar.Korps dan prajurit bukan hanya berguru kepada suatu instansi pelatihan negara saja yang secara tekstual menggembleng seluruh pasukan dengan konsep nasionalisme namun mereka adalah sosok yang seharusnya mengerti tentang konsep kemanusiaan melalui adaptasi dan pengalamannya dengan alam liar dan medan perang.Alam dan medan perang memberikan dan mengajarkan ilmu tentang pentingnya hajat hidup orang banyak, pentingnya kehidupan sosial untuk saling bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan, pentingnya sebuah nyawa manusia atau paling tidak hanya sekadar perasaan senasib dan sepenanggungan untuk segera mengakhiri dan menyelesaikan penderitaan.Maka apakah akan beda konteksnya dengan sesorang yang tak pernah mencapai pemahaman ini ?
Seorang jenderal militer tiongkok abad ke-5 SM Sun Tzu yang juga merupakan seorang filsuf strategi pernah menuliskan suatu buku yang masih lazim digunakan hingga sekarang yakni "The Art of War", dalam kutipannya mengenai prajurit ia menekankan bahwa seorang prajurit bukan hanya sekedar individu yang bertarung di medan perang, tetapi bagian dari strategi yang lebih besar.Prajurit tidak secara khusus harus membela rakyat atau pemerintah, tetapi harus membela kepentingan negara dan kemenangan dalam perang, jadi ini merupakan instrumen politik demi kelangsungan suatu negara.Ini bukan hanya satu sudut pandang tapi menekankan bahwasannya pemerintahan harus bijak dalam menggunakan prajurit namun kesejahteraan rakyat juga penting, kemudian ini dimaknai sebagai sebuah keseimbangan negara secara keseluruhan.
Atau dalam Suatu fiksi novel sci-fi yang ditulis 1974 yakni "The Forever War" karya Joe Haldeman, yang menceritakan perang antar galaksi dimana berpusat pada seorang prajurit yang ikut berperang dan kerap mempertanyakan tujuan dan moralitas perang dan pemerintah yang mengendalikannya namun pada akhirnya sang tokoh menyadari bahwa prajurit kerap kali dikorbankan baik secara fisik dan ideologi lewat perang yang tak pernah berujung, lantas apa yang menjadi keputusan sang prajurit ? ia memilih jalannya sendiri lewat konsep keadilan yang tertanam.
Sebuah kegagalan akan menciptakan dua jalur cerita yang berbeda, ketika ia mau berbenah untuk pulang maka bukan tidak mungkin ia akan sampai tujuan namun lain cerita ketika ia hanya menikmati kegagalan dan bahkan hanya menginjak keberhasilan orang, bagi orang yang demikian apakah pantas disebut sebagai seorang pemenang atau pecundang ?
Referensi lainnya;
Tzu, S. (2010). The art of war. Capstone Publishing.
Berikut sepenggal bait,
Nayanika
Lima mil bidikan senjata
Tiga jengkal kawan yang terluka
Tujuh hasta musuh di depan mata
Ini bias atau hanya imaji semata ?
Raga penuh peluh dan dosa
Entah dosa membunuh siapa
Atau lupa sudah keberapa
Pastinya tak ada niat hati menyengaja
Tiap mili darah jatuh ke tanah
Laksana menyusun suatu arah
Akankah ada kesempatan untuk berbenah
Bagi seluruh harapan yang tercurah
Mereka semua manusia
Ya... Aku tau betul itu dikepala
Bagaimana mungkin akan menuangkan segala rasa
Untuk moralitas yang tak pernah ada
"Konsep mungkin diam saja, namun akan ada moralitas yang terluka."
~Dwiki Ariyadi
Komentar
Posting Komentar